Bukan rahasia umum lagi, jika peran investor sebagai salah satu penggerak roda sektor tambang dan industri sangatlah besar. Bahkan, di realiasi investasi semester 1 2022 yang meningkat 32.0% secara year-on-year menjadi Rp584,6 triliun tersebut, sektor industri pengolahan terutama industri logam dasar, bukan logam, bukan mesin dan peralatannya berkontribusi 42% dari total investasi. Disusul sektor pertambangan di peringkat kedua.
“Kontribusi sektor industri yang memberikan nilai tambah, khususnya industri pengolahan terkait hilirisasi tambang, industri makanan, industri kimia dan farmasi yang cukup signifikan terhadap angka realisasi investasi dalam beberapa triwulan terakhir merefleksikan transformasi ekonomi di Indonesia terus berlangsung. Kondisi ini sekaligus menunjukkan proses industrialisasi juga tumbuh,” tegas Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia pada Juli 2022 lalu.
Lebih lanjut, dalam laporan Realisasi Investasi Semester 1 2022, dari triliunan dolar Amerika tersebut, kontribusi Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai Rp163,2 triliun. Sedangkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp274,2 triliun, lebih dominan.
Namun, di balik moncernya setoran investasi kepada negara untuk pembangunan, para investor sebenarnya mulai ‘lelah’. Lho, ada apa?
Banyak yang berkeluh kesah akan carut-marut aturan, izin dan hukum yang ada di sektor pertambangan sebagai sektor hulu industri. Banyak sekali masalah-masalah yang mereka hadapi; dari mulai pencabutan IUP secara tiba-tiba tanpa peringatan, tumpang tindih lahan, tambang ilegal yang masih marak, serta perizinan yang kerap dipersulit.
FYI, hingga kini terdapat 2.700 tambang ilegal yang masih eksis di Indonesia. Begitupun dengan kasus tumpang tindih lahan yang bermasalah. Berdasarkan data Kemenko Bidang Perekonomian RI ada 4,7 juta Ha lahan tambang yang bermasalah.
Namun menurut ‘kabar burung’, di tengah pencabutan IUP yang tiba-tiba dan masih maraknya tambang ilegal, bahwa Kementerian ESDM juga telah ‘pilih-pilih’. Dari ribuan IUP yang dicabut, ada yang bahkan sudah secara nyata memberikan sumbangsih kepada negara lewat penerimaan negara bukan pajak dan royalti hingga mendapatkan penghargaan dari ESDM bisa kalah dengan perusahaan yang belum ada wujud fisik serta belum berkontribusi apapun yang IUP-nya tidak dicabut. Kenapa itu bisa terjadi?
Sungguh betapa tidak adil bagi perusahaan tambang yang telah berjuang di jalan yang benar untuk mengembangkan sektor pertambangan RI dengan mengerahkan teknologi modern, tenaga kerja kompeten, implementasi kegiatan operasional yang baik, berkelanjutan dan ramah lingkungan, lalu tiba-tiba dihentikan begitu saja! Padahal selama ini mereka juga sudah memberikan kontribusi yang optimal kepada negara baik itu lewat nilai ekspor hingga setoran-setoran pajak dan royalti dengan rajin.
Namun, ketimbang mengurusi hal-hal krusial seperti itu, pemerintah seolah-olah menutup mata dan lebih mementingkan urusan pencabutan 2.056 IUP perusahaan tambang, yang bahkan tidak semua dari perusahaan tersebut terbukti melakukan penyelewengan. Buktinya, Menteri Bahlil menjanjikan akan memulihkan beberapa IUP diantaranya.
Apakah pemerintah termasuk pihak Kementerian ESDM tidak menyadari, kalau mereka tak hanya merugikan pengusaha tambang namun juga merugikan negara sendiri. Dengan carut-marutnya sektor pertambangan diwarnai dengan ketidakjelasan regulasi dan ketidakadilan untuk pengusaha tambang, investor jelas yang paling dirugikan disini.
Bahaya sekali kalau terus-menerus dirugikan, investor bisa ‘lelah’ dan bisa begitu saja cabut dari berbisnis di dalam negeri. Lalu, uang triliunan yang dipamerkan dalam laporan realisasi investasi oleh BKPM juga otomatis berkurang. Semoga itu tidak terjadi dan pemerintah bisa segera berbenah dan membuat iklim investasi yang nyaman bagi para investor kita.