Beruntungnya negara yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah. Mungkin itulah yang dipikirkan negara lain kepada Indonesia. RI disebut bisa meraup cuan bahkan dari pasar global yang memperebutkan komoditas tersebut. Namun rakyat Indonesia justru malah malah kebanyakan ruginya karena lembaga yang mengelola yaitu Kementerian ESDM terindikasi mencari cuan sebelum perjuangan menuju perekonomian lebih baik lewat program hilirisasi.
Mengenai pengelolaan sumber daya alam, memang negaralah yang dipercayakan mengaturnya. Namun lembaga yang memayungi sektor pertambangan malah kerap mengeluarkan kebijakan yang merugikan pengusaha dan lebih menguntungkan mereka. Ya bagaimana tidak, jika kebijakan ini seputar uang dan uang dari kocek pelaku industri dan rakyat.
Mari flashback sedikit pada kejadian di awal tahun 2022. Adanya larangan ekspor batu bara sempat membuat pengusaha meradang. Pasalnya larangan ekspor dan kewajiban mematuhi DMO (Domestic Market Obligation) sangat mencekik lantaran harga domestik jauh lebih rendah dari harga pasar global. Meski kebijakan yang diklaim Kementerian ESDM dapat mendukung program hilirisasi tersebut dihapus, namun hingga kini pemerintah belum menemui cara untuk menyamaratakan harga domestik dan harga global yang ditunggu-tunggu pengusaha batu bara.
Nggak cuma batu bara, komoditas selanjutnya yang disasar adalah timah. Tarif royalti timah yang sebelumnya flat 3 persen diwacanakan akan naik progresif sesuai harga timah pasar global nantinya. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin mengatakan, “Hal ini sedang kami diskusikan, kami akumulasikan angka-angkanya sehingga negara akan mendapat penerimaan yang lebih banyak, dan badan usaha mendapat penerimaan yang berkurang, tapi tidak terlalu banyak berkurangnya,” tuturnya.
Yang masih hangat selanjutnya terjadi ke pengusaha nikel. Produk olahan nikel seperti feronikel dan NPI bakal dikenakan pajak bila dilakukan eskpor. Padahal 2 produk tersebut juga buah hilirisasi. Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan bahwa produk nikel masih bisa diturunkan jadi NHP lewat proses HPAL. Hmm, mohon maaf, tapi nyatanya industri dalam negeri belum ditahap kesiapannya. Kebijakan ini juga ditunda.
Nggak cuma soal SDA mineral, upaya mengejar cuan juga diterapkan ke sektor karbon. Ya, adanya pajak karbon yang akan mengenakan perusahaan industri yang masih memakai bahan bakar migas dan batu bara tentu saja buat menjerit. Itu sama saja dengan menagih pajak dari seluruh industri. Pasalnya industri hijau di Indoensia baru 0,15 persen dari 29.000 jumlah industri skala menengah dan besar yang ada.
Program konversi kompor listrik juga dicurigai sebagai ajang cari cuan lagi lewat penerbitan Peraturan tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Untungnya program ini keburu didemo masyarakat lantaran kompor listrik cuma akan membuat tagihan listrik membengkak.
Sebenarnya apa, sih, yang sedang dilakukan Kementerian ESDM? Mengapa sebentar-sebentar buat kebijakan tanpa road map dan juntrungan yang jelas, lalu tiba-tiba dibatalkan atau ditunda. Bukankah lebih baik menyiapkan kebijakan secara sempurna baru disosialisasikan kepada masyarakat. Wajar saja ‘kan, jadi banyak yang ngira ini ajang ‘tes ombak’ dalam mencari celah pendapatan tambahan yang nggak sama sekali menguntungkan rakyat.