Polemik bisnis tes PCR yang menyeret nama pejabat-pejabat negeri seperti Menko Luhut dan Menteri BUMN Erick Thohir sudah memasuki babak penyelidikan oleh penegak hukum pasca dilaporkannya kasus ini ke lembaga penegak hukum, seperti KPK, BPK, hingga DPR. Berbagai tokoh politik, tokoh agama, tokoh dan organisasi masyarakat kompak menyoroti bahwa tak seharusnya tes PCR dijadikan ladang bisnis meraup cuan berlebihan termasuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Lebih lanjut, Mulyawan Ranamanggala selaku Direktur Ekonomi KPPU mengatakan pihaknya sudah mengendus, tidak hanya keberadaan bisnis PCR di masa pandemi namun juga persaingan tidak sehat di dalamnya.
Indikasi persaingan tidak sehat dalam bisnis PCR ini terlihat dari cara penggabungan biaya tes Covid-19 dengan biaya konsultasi hingga dua kali lipat.
“Itu lantaran banyak pelaku usaha atau klinik yang membuka praktik PCR, dan menawarkan paket bundling dengan harga yang berbeda-beda,” terangnya.
Hal-hal seperti ini menurut pihak KPPU merupakan persaingan yang tidak sehat dalam sebuah usaha, karena sejatinya tes PRC hanya untuk mendeteksi apakah ada virus Covid-19 di tubuh manusia.
Kini, Mulyawan mengungkap KPPU masih mendalami nama-nama besar perusahaan yang terlibat dalam pusaran bisnis PCR seperti perusahaan yang disebut terafiliasi dengan anak usaha Menko Luhut maupun Menteri BUMN Erick Thohir. Serta melakukan verifikasi apakah semua itu benar atau tidak.
Selain melakukan verifikasi terhadap nama-nama perusahaan besar tersebut, KPPU juga menganalisis kelompok usaha perusahaan laboratorium tes PCR untuk melihat seberapa besar kekuatan dari bisnis tersebut selama ini.
KPPU juga menyoroti bahwa pemerintah masih membuka keran impor untuk alat-alat kesehatan seperti tes PCR yang selama ini dijadikan alasan harga tes PCR menjadi tinggi. KPPU meminta pemerintah sebaiknya juga terbuka dan transparan dalam pengadaan alat kesehatan termasuk Reagen PCR.
Tidak hanya persoalan masih impornya alat tes PCR, permasalahan lainnya adalah penemuan data bahwa merek Reagen PCR yang beredar saat 2020 didominasi oleh swasta sebanyak 85% dan bukan pemerintah yang menjadi kontrol pusat.
Hal ini senada dengan catatan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menyarankan bahwa pemerintah harusnya menjadi pengatur utama semua penyelenggara tes PCR terlebih pihak swasta terkait batas margin keuntungan yang boleh diambil. Dan menurut Agus selaku pengurus YLKI, batas wajar keuntungan yang bisa diambil adalah hanya 20-25% dari biaya total produksi.