Pada hari Selasa (2/11) Nama Menko Marves RI, Luhut Binsar Pandjaitan trending pertama di jagad media sosial Twitter pada Selasa, 2 November 2021. Warganet terlihat kompak menuliskan cuitan untuk menyindir keterlibatan Menko Marves di bisnis tes PCR.
Keterlibatan Menko Luhut di bisnis tes PCR yang hingga trending di mana-mana ini pertama kali terungkap karena laporan Majalah Tempo bahwa tidak hanya ada kepentingan bisnis dibalik tes PCR, namun ada pula nama-nama yang terlibat dalam pusaran bisnis tersebut, yaitu salah satunya yang paling membuat berang seluruh lapisan masyarakat ialah Menko Marves RI, Luhut Binsar Pandjaitan. Dua anak perusahaan terafiliasi dengan PT Genomik solidaritas Indonesia, perusahaan laboratorium penguji tes PCR.
Mantan Ketua YLBHI, Agustinus Edy Kristianto kemudian menambah panas kasus ini dengan merincikan lebih detail lagi nama-nama pemain di pusaran bisnis tes PCR. Ada Boy Thohir alis kakak Erick Thohir hingga Pengusaha Jack Budiman.
Awal Mula Terkuaknya Kasus Bisnis Tes PCR
Kilas balik sejenak, terbongkarnya kasus bisnis tes PCR yang hingga menyebabkan nama Menko Luhut trending ialah ketika turun perintah Presiden untuk menurunkan harga tes PCR menjadi Rp275 ribu di Jawa Bali dan Rp300 ribu di daerah lain. Ini disahkan pada 27 Oktober 2021.
Penurunan harga tes PCR ini dikarenakan adanya kritik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menilai bahwa harga PCR sebelumnya yaitu Rp495 ribu di Jawa Bali serta Rp525 ribu di daerah lain sangat mengintimidasi masyarakat.
1 hari setelahnya, yaitu 28 oktober, Mendagri Muhammad Tito Karnavian dan juga Menko Marves RI, Luhut Binsar Pandjaitan kompak mengumumkan bahwa masa berlaku tes PCR menjadi 3×24 jam.
Ketika masyarakat, yang mungkin saja membutuhkan moda transportasi untuk kepentingan mendadak, bisa bernafas lega, muncul lagi kebijakan baru selain masa berlaku tes pcr berubah, yaitu seluruh perjalanan dengan moda transportasi darat dan laut juga wajib menunjukkan bukti tes usap RT-PCR.
Dan yang lebih membuat gaduh masyarakat lagi karena secara tiba-tiba di 1 November, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menghapus kebijakan tes usap RT-PCR di moda transportasi pesawat.
Kecurigaan-kecurigaan Mulai Muncul
Adanya peraturan yang berubah-ubah ini tak pelak membuat publik menilai bahwa pemerintah tidak tegas dalam menentukan kebijakan menangani penyebaran virus Covid-19.
Seperti komentar dari Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra, “Situasi ini cukup membingungkan seolah-olah pemerintah tidak punya evidence based atau fakta dan data dalam pengambilan keputusan,” katanya.
Hermawan menyoroti jika memang tes PCR sebagai screening penting untuk dilakukan, harusnya PCR digratiskan agar terjangkau oleh seluruh masyarakat.
Senada dengan Hermawan, Epidemiolog Univesitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan tes PCR sebagai screening perjalanan merupakan gold standard yang harus tetap dilakukan dan tidak perlu mengubah aturan, seperti menghapusnya dari syarat perjalanan dengan moda transportasi pesawat.
Kalau dari pihak pembuat kebijakan yaitu Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, ini semua merupakan wujud kehati-hatian akan peluang kenaikan kasus Covid. Dan sangat wajar bila kebijakan-kebijakan mengenai syarat tes Covid-19 dilakukan.
Meski sudah dijelaskan seperti itu, kecurigaan- kecurigaan dari publik malah meningkat dan memunculkan dugaan-dugaan yang spekulatif.
Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menyatakan di balik perubahan aturan dari pemerintah soal tes usap RT-PCR ada suatu kepentingan penguasa yang mempengaruhi.
“Ini menunjukkan bahwa kebijakan itu merupakan usulan atau produk dari kelompok-kelompok tertentu. Paling tidak ada penguasa, politisi dan pengusaha mempengaruhi kebijakan. Artinya dia mempunyai akses terhadap kebijakan sehingga kemudian ada kepentingan entah bisnis, entah cuan yang kita lihat berkedok kebijakan. Jadi kebijakan ini dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi,” kata Trubus.
Lebih lanjut Trubus membahas bahwa dengan adanya perubahan-perubahan secara cepat ini berarti pemerintah tidak transparan soal kebijakan PCR dan malah membenarkan apa yang dipertanyakan dan dicurigai oleh publik.
Dan benar saja, ada kepentingan penguasa yang ingin mencari cuan lewat bisnis tes PCR. Pengusaha merangkap penguasa ini mungkin tidak ingin kehilangan cuan ketika harga PCR diturunkan hingga berkedok kebijakan demi kemaslahatan bersama, dirinya sekaligus menyelamatkan bisnisnya.