Baru saja Presiden Jokowi memerintah penurunkan harga tes RT-PCR paling tinggi menjadi Rp300 ribuan, muncul kebijakan baru yang membingungkan masyarakat yaitu kebijakan pemberlakuan bukti negatif swab test RT-PCR di semua moda transportasi.
Luhut Binsar Pandjaitan yang juga turut serta dalam pembuatan kebijakan ini lalu mengungkap data dari Survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan yang telah memprediksi bahwa akan ada 19.9 juta orang yang melakukan perjalanan di area Jawa dan Bali. Sedangkan 4,45 juta lainnya akan melakukan mobilitas horizontal di sekitar Jabodetabek. “Sekarang pun mobilitas di Bali sudah sama dengan libur Natal dan tahun baru 2020,” tutur Luhut.
Pun dirinya menjelaskan maksud lain dari pemberlakuan PCR di semua moda transportasi adalah untuk membuat masyarakat berpikir dua kali sebelum bepergian.
Ragam Komentar dari Masyarakat: “Penuh Keganjilan” hingga “Melegalkan Bisnis PCR”
Kebijakan ini menuai ragam komentar, termasuk salah satunya dari Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi yang menyoroti bahwa kebijakan ini diskriminatif dan menambah beban konsumen.
Ada juga Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono yang menilai pemerintah terlalu terburu-buru dengan kebijakan tes PCR yang disahkan sebulan sebelum libur natal.
Uniknya, kedua tokoh tersebut merasa kebijakan ini penuh keganjilan dan lainnya mengutarakan, “Aturan yang berlaku saat ini melegalkan kartel bisnis PCR,”
ICW: Keuntungan bisnis PCR Mencapai Rp10,46 triliun
Ternyata bukan tanpa alasan publik mulai curiga dengan penyelengaraan tes usap RT-PCR. Diketahui penyedia jasa swab test RT-PCR sampai sekarang didominasi oleh pihak swasta. Beragam perusahaan-perusahaan laboratorium penguji tes PCR ternama Bumame, GSI, Intibios menguasai bisnis ini.
Tidak hanya tes usap RT-PCR yang menjadi garapan pihak swasta, mesin-mesin penunjangnya pun masih mengimpor dari luar. Biasanya para pebisnis tes PCR akan bekerja sama dengan importir-importir, misalnya dari China. Mesinnya sendiri dibanderol seharga Rp400 juta. Hal-hal inilah yang kerap dijadikan alasan mengapa harga tes PCR menjadi mahal.
Selain itu ada media penyimpanan spesimen lendir hidung dan tenggorokan dari pasien yaitu viral transport medium atau VTM juga didapat dari importir. Padahal, jika penyedia fasilitas tes usap RT-PCR membeli reagen seharga Rp60 ribu hingga Rp1,5 miliar, mereka bisa mendapatkan pendapatan kotor Rp12,4 miliar per 25 ribu orang yang PCR bertarif Rp475 ribu.
Hingga akhirnya, ICW berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan di benak masyarakat akan angka pasti dari keuntungan bisnis PCR. Wana Alamsyah, Peneliti Indonesia Corruption Watch menaksir keuntungan-keuntungan bisnis PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp10,46 triliun dan belum dihitung keuntungan yang didapat importir, “Keuntungan fantastis,” tutur Wana.
Setelah terkuak bahwa ada triliunan rupiah dari keuntungan bisnis PCR sontak membuat masyarakat gaduh dan merasa kesal. Pasalnya, itu berarti selama ini ada pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 sebagai cara untuk meraih keuntungan dan memperkaya diri. Miris, rakyat sudah pontang-panting bertahan hidup di tengah Pandemi Covid-19, namun masih harus berjuang lagi melawan penindasan tidak terlihat dari para pebisnis PCR.