Di tengah carut marutnya dunia atas ekonomi global yang makin merosot, bahkan IMF (International Monetary Fund) memaparkan kalau tahun 2023 ekonomi akan ‘gelap’, Indonesia malah dengan ‘gagah’ berani menetapkan tarif pajak progresif nikel.
Tarif pajak progresif nikel ini tercantum dalam PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia. Di dalam beleid tersebut dirincikan besaran pajak adalah 5% untuk harga US$15.000 hingga US$16.000 per ton. Nantinya, tak hanya nikel, komoditas lainnya seperti bauksit dan timah dikabarkan akan dikenakan pajak progresif.
Padahal, menurut BKPM, realisasi investasi Indonesia mencapai Rp892,4 triliun pada Januari – September 2022. Untuk Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp479.3 triliun dan Penanaman Modal Negeri sejumlah Rp413,1 triliun.
BKPM mencatat, lima sektor terbesar dari gabungan PMA dan PMDN adalah industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya dengan nilai investasi Rp131,8 triliun. Disusul sektor pertambangan dengan nilai investasi Rp96,5 triliun.
Bahkan, berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per Senin (3/10), realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) hingga kini tercatat mencapai Rp 118, 34 triliun, sekitar 279,32% dari target rencana penerimaan tahun 2022 yakni sebesar Rp 42,37 triliun.
Tidak hanya itu, Indonesia juga mengalami peningkatan ekspor barang pada kuartal II lalu, khususnya di sektor pertambangan. Badan Pusat Statistik melaporkan ekspor dari sektor tersebut mencapai US$5,93 miliar, meningkat 103,6% dari setahun sebelumnya (year-on-year).
Bukankah ini menjadi pertanda bahwa komoditas mineral seperti nikel telah menjadi ‘juru selamat’ bagi perekonomian Indonesia? Tidak heran jika banyak protes dari kalangan para pelaku usaha. Protes ini bukan tanpa alasan, sebab jika ditelisik lebih dalam, kebijakan ini membuat berbagai pihak, baik pengusaha maupun investor tidak tenang ketika menjalankan usahanya.
Dengan adanya pajak progresif nikel ini, beragam produk nikel yang akan dikirim ke luar negeri terutama dalam bentuk setengah jadi akan dikenakan pajak! Tentu akan merepotkan, bukan? Direktur Keuangan emiten pertambangan nikel, PT Vale Indonesia Tbk (INCO), Bernadus Irmanto, menilai jika pemerintah menetapkan kebijakan pajak ekspor nikel akan menekan industri nikel domestik.
“Tentu saja pengenaan pajak ini bakal memberikan tekanan terhadap industri nikel, terutama perusahaan yang melakukan ekspor produk olahan nikel,” paparnya
Menurut Bernardus, jika tujuan pengenaan pajak ini untuk mendorong hilirisasi, perlu dikaji ulang waktu pelaksanaan dengan ketersediaan fasilitas hilirisasi (downstreaming facility) di Indonesia.
Mengenai ketersediaan fasilitas-fasilitas penunjang dari hulu ke hilir tersebut, CEO PT IMIP, Alexander Barus mengungkap bahwa saat ini Indonesia masih mengalami kekosongan pada industri intermediate.
“Dari tiga tingkat kita sudah punya sekarang, tingkat dua hanya bahan baku feronikel, kita proses sekarang sudah ada 3 juta metrik ton (mt), Di tingkat ketiga ini kosong, Pak Bahlil bilang ada packing baterai, kita lihat saja nanti, yang pasti ini di tingkat tiga kita kosong,” ujar Alex.
Seperti yang dikatakan sebelumnya oleh pihak PT Vale Indonesia, penerapan pajak progresif nikel di Indonesia perlu dikaji ulang. Mengingat bisnis pada sebuah negara sifatnya dua arah; antara pengusaha dengan pemerintah. Mengingat ekonomi global, tak terkecuali Indonesia diprediksi ‘gelap’ pada tahun 2023, hendaknya komunikasi terjalin antar multipihak agar tidak terjadi kerugian satu sama lain.