Selain memiliki cita-cita untuk melakukan transisi energi, pada tahun 2030 Indonesia juga memiliki impian yang tak kalah fantastis. Ya, Tanah Air rupanya memiliki mimpi untuk menjadi negara yang memproduksi 1 juta barel minyak per harinya. Mantap, bukan?
Namun, apalah arti mimpi jika rupanya selama 5 tahun ke belakang lifting minyak terus merosot! Melansir berbagai sumber, pada 2015 lifting minyak sempat naik 779.000 barel per hari, pada 2016 829.00 barel per hari, lalu kemudian merosot pada tahun 2017 menjadi 804.000. Sayangnya, tahun 2021 juga mengalami kemerosotan menjadi 660.000 per hari. Bahkan, per September 2022, lifting minyak hanya mencapai 610.100 barel per hari.
Sejumlah kalangan pun akhirnya memprediksi cita-cita 1 juta barel sulit tercapai jika kondisi perminyakan terus merosot tajam. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi dengan industri migas di Indonesia hingga pada akhirnya lifting minyak merosot padahal Indonesia memiliki target 1 juta barel per hari di tahun 2030.
Merangkum berbagai sumber, berikut ini sengkarut yang terjadi dunia migas. Simak baik-baik, ya!
1. Problem Lapangan dan Usia Sumur yang Sudah Melewati Masanya
SKK Migas menjelaskan, lifting terjadi karena problem lapangan yakni longsor di wilayah kerja ExxonMobil Cepu Ltd tepatnya di Bojonegoro, Jawa Timur. Hal ini mengakibatkan pipa minyak tidak layak dijalankan. Ketika tidak dapat berjalan dengan layak, tentu kamu mengetahui akibatnya, kan?
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, mengamini kendala dalam mewujudkan cita-cita 1 juta barel tersebut. Adanya unplanned shutdown, fasilitas di beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan penurunan produksi alamiah adalah alasannya.
Selain itu, berbagai sumur minyak yang dioperasikan di Indonesia usianya sudah melewati masanya yakni tidak dapat berproduksi. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, kenyataan tersebut tidak dibarengi dengan kemampuan pemerintah Indonesia untuk menemukan cadangan baru selayaknya Blok Cepu era 2000-an. Jika cadangan baru belum ditemukan, apa yang akan terjadi selanjutnya, ya?
2. Iklim Penanaman Modal Carut Marut
Insentif fiskal dan nonfiskal juga menjadi masalah di bidang hulu minyak dan gas. Iklim investasi di Indonesia dinilai masih acak kadut di mata penanam modal karena beberapa hal yang disebabkan oleh kita sendiri. Ya, seperti perizinan yang tumpang tindih dan birokrasi berbelit, membuat penanam modal jengah dengan cara model berbisnis seperti ini.
Dilansir Wood Mackenzie dan IHS Markit, untuk daya tarik fiskal migas di Indonesia hanya mendapatkan nilai 2,4 dari 0 sampai 5. Padahal, rerata minimal untuk dunia adalah 3,3. Hal ini sebenarnya bisa dibenahi melalui birokrasi, kontrak bagi hasil yang fleksibel, insentif fiskal dan nonfiskal, serta perbaikan data migas.
Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, iklim investasi migas Indonesia yang kurang kompetitif dinilai tidak menarik minat investor. Hal ini mengakibatkan cita-cita mencapai 1 juta barel susah digapai. Menurutnya, secara kalkulasi, diperlukan tambahan produksi dari lapangan migas skala besar yang mayoritas dihasilkan dari investasi-investasi major international oil companies (IOCs).
3. Cadangan Minyak Tidak Dieksplorasi dengan Segera
Dikutip Kompas, pemerintah menyampaikan bahwa sumber daya migas Indonesia terhitung besar. Masih ditemukannya 74 cekungan hidrokarbon di wilayah timur Indonesia dan perairan dalam menjadi sebab dari segala sebab. Namun apa jadinya jika potensi tersebut tidak segera dieksplorasi? Akan mangkrak begitu saja tak berguna, toh. Apalagi tahap eksplorasi membutuhkan teknologi, riset, dan waktu lama. Lalu, kita harus bagaimana?
Pri Agung menambahkan, cita-cita produksi 1 juta barel sulit tercapai jika skema kerja migas masih belum ada. Seperti, lapangan mana saja yang akan dieksplorasi, kapan dan siapa yang akan merealisasikan proyek tersebut. Semua harus dipikirkan dengan matang.
4. Penerapan Teknologi EOR yang Sulit
Enhanced oil recovery atau EOR diklaim pemerintah bisa menjadi teknologi pengurasan minyak tingkat lanjut yang mampu meningkatkan produksi minyak di masa depan. Tapi tidak semudah membalikkan telapak tangan, nyatanya penerapan tersebut tidak semudah itu!
Menurut Vice President Indonesian Petroleum Association (IPA), Ronald Gunawan, teknologi EOR sulit diterapkan karena butuh waktu lama. Dibutuhkan proses perencanaan, pencocokan metode dengan karakter sumur minyak dan pengembangannya.
Ronald menjelaskan, ketika zat kimia EOR masuk ke dalam sumur minyak tidak semata-mata bisa langsung meningkatkan produksi. Butuh waktu dan pengelola harus menunggu reaksi kimia agar minyak bisa tertangkap dan keluar sumur.
Target 1 juta barel bukanlah ucapan belaka jika masalah di atas cepat ditangani. Bahkan deretan masalah di atas adalah yang terlihat, bagaimana jika nantinya di lapangan ditemukan masalah terbaru? Semoga jangan sampai ada, namun jika ada, wajib diselesaikan dengan masalah sebelumnya.
Lebih-lebih, ketergantungan Indonesia terhadap minyak ternyata masih tinggi. Tercatat, sejak 2004 Indonesia masih menjadi negara pengimpor bersih minyak. Kebutuhan BBM untuk konsumsi Indonesia mencapai 1,4 hingga 1,5 juta barel per hari. Hal ini tidak sanggup dipenuhi oleh pemerintah lagi karena deretan masalah di atas.
Kementerian ESDM selaku ‘bapak rumah tangga’ dari energi di Indonesia semoga tak hanya ucap belaka dan memasang target saja. Jangan terlebih dahulu pesimis dengan cita-cita 1 juta barel dan meninggalkan sektor ini demi transisi energi. Walaupun Indonesia sedang transisi energi menuju EBT, namun tak bisa menampik bahwa kebutuhan BBM masih dibutuhkan di segala aspek.
Jika masalah tadi tak kunjung diselesaikan oleh ESDM, sebenarnya apakah kita sudah siap menuju impian 1 juta barel tersebut? Jangan sampai hanya menjadi ucapan belaka atas cita-cita, ya. Jika itu sekadar ucapan, maka itu bukanlah cita-cita, namun sebuah angan. Andai kamu berada di posisi pemerintah, apa yang akan kamu lakukan atas deretan masalah di atas?