Indonesia sedang memperjuangkan perbaikan roda perekonomian dengan memanfaatkan sumber daya alam dan pemberian nilai tambah pada produknya. Seperti yang dilakukan pada sumber daya nikel. Perusahaan pertambangan nikel ini tak hanya menjual barang mentah namun juga wajib melakukan hilirisasi nikel dan membuat banyak produk turunan hingga ke barang jadi.
Mengapa nikel? Mengutip Booklet Tambang Nikel 2020 Kementerian ESDM, diketahui Indonesia memiliki 4,5 miliar ton cadangan nikel dengan 1,8 miliar ton terbanyak berada di Sulawesi Tengah. Hal ini yang membuat Indonesia mempunyai peluang besar untuk menjadi produsen kendaraan listrik yang terbuat dari bahan baku nikel.
Namun, di tengah semangat perjuangan rakyat dan pelaku usaha, ada kabar tidak menyenangangkan dan dapat mencoreng citra kegiatan penambangan. Melalui laporan investigatif sebuah media massa, terkuak bahwa ada praktik ilegal yang melibatkan politikus, pejabat, pengusaha, hingga mantan aktivis.
Yang dimaksud dengan praktik ilegal adalah beberapa perusahaan nikel di Sulawesi Tengah diketahui tidak memiliki persetujuan pencadangan wilayah, yang merupakan syarat masuk ke Minerba One Data Indonesia (MODI) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Salah satu perusahaan nikel yang dimaksudkan laporan investigatif media massa tersebut adalah perusahaan milik Karlan Azis Manessa, yang biasa dikenal sebagai Haji Karlan yang memakai dokumen palsu. Bahkan tak hanya perusahaan Karlan, setidaknya ada 12 perusahaan nikel di Sulteng yang diduga mendapat izin dengan cara serupa.
Kronologi Pemalsuan Dokumen Perusahaan Nikel Haji Karlan
Haji Karlan diketahui memiliki 4 perusahaan yang terdaftar di MODI dan diduga berlandaskan ketidakabsahan dokumen, yaitu PT Citra Teratai Indah, PT Gemilang Bumi Lestari, PT Hikari Jeindo, dan PT Kurnia Degees Raptama. Luas lahan konsesi tambang nikel Karlan ini mencapai 15 ribu hektar di kawasan hutan Morowali, Sulawesi Tengah.
Dan parahnya, dokumen milik Karlan yang diduga palsu telah dibubuhkan tanda tangan Bupati Morowali 2007-2018, Anwar Hafid. Penandatanganan dokumen wilayah pencadangan terjadi pada 28 September 2008 silam. Dokumen tersebut juga memiliki cap Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM). Uniknya, pada tahun tersebut, nama DESDM masih Dinas Pertambangan dan Energi.
Namun Anwar Hafid melemparkan persoalan ini dengan mengatakan bahwa seingatnya Karlan memiliki izin tambang. Dirinya merujuk apabila Karlan mempunyai surat pengantar dari Bupati Morowali sekarang yaitu Taslim, maka izin dokumen tersebut bukanlah palsu.
Kabar yang beredar menyatakan bahwa Karlan memiliki surat penyerahan izin usaha pertambangan (IUP) untuk empat perusahaan miliknya yang terbuat pada 1 September 2021, dan surat ini juga ditandatangani oleh Taslim, Bupati Morowali sekarang. Masalahnya, Taslim kemudian mengatakan dirinya tak pernah sekali pun mengeluarkan surat pengantar tersebut, sehingga Bupati Morowali tersebut melaporkan hal ini kepada aparat kepolisian.
Aksi suap-menyuap ini diakui oleh Bupati Morowali periode 2008-2017, Anwar Hafid yang mengakui telah ada dan berkembang pada masa jabatannya. Ditambah, beberapa pengusaha bercerita bahwa mereka perlu merogoh kocek senilai Rp5,5 miliar agar bisa masuk ke MODI lewat jalur pendapat hukum.
Memang, uang suap senilai Rp5,5 miliar mungkin tak seberapa dibanding penghasilan para penambang nikel dalam waktu 1 pekan yaitu kira-kira Rp1 miliar, bahkan bisa lebih. Tak hanya soal mahar yang terbilang murah. Dengan suap, segala urusan juga menjadi lebih cepat.
Yang memperparah, dalam sistem penyaringan MODI, Kementerian ESDM tidak pernah mengecek setiap pertambangan nikel di Sulawesi Tengah sebelum dimasukkan ke MODI. Kementerian ESDM berdalih bahwa mereka hanya mengecek tumpang-tindih izinnya.