Di tengah perjuangan Indonesia dalam akselerasi kinerja sektor industri pertambangan lewat program hilirisasi, ada sejumlah polemik yang melingkupinya. Kekacauan di lingkup pertambangan nikel di Sulteng ini bermula dari penelusuran investigatif sebuah media massa di Indonesia baru-baru ini yang menyebutkan bahwa ada beberapa perusahaan tambang nikel di Sulawesi Tengah yang tak memiliki persetujuan pencadangan wilayah, yang merupakan syarat masuk ke Minerba One Data Indonesia (MODI) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Untuk masuknya suatu perusahaan ke daftar MODI juga diperlukan pengesahan izin pertambangan nikel dari beberapa lembaga terkait yaitu Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Usaha Tata Negara, dan Ombudsman.
Dan polemik suap hingga ke pengurusan opini hukum oleh Kejaksaan Tinggi Sulteng yang dapat mempermulus jalan masuk ke MODI sudah lama terjadi. Bahkan, aksi suap-menyuap ini diakui oleh Bupati Morowali periode 2008-2017, Anwar Hafid yang mengakui telah ada dan berkembang pada masa jabatannya. Beberapa pengusaha juga bercerita bahwa mereka perlu merogoh kocek senilai Rp5,5 miliar agar bisa masuk ke MODI lewat jalur pendapat hukum.
Uang panas tersebut biasa disebar ke berbagai pihak, dari mulai DESDM Sulteng, Kejaksaan, hingga pejabat di kementerian ESDM. Bahkan, uang suap untuk Bupati juga disiapkan terpisah sebagai imbalan atas kelancaran pembuatan surat pengantar dokumen pelengkap persyaratan permohonan opini hukum.
Tindakan Ilegal Terjadi di Pertambangan Nikel Sulawesi Tengah
Indonesia diketahui memiliki cadangan sumber daya nikel sebesar 4,5 miliar ton cadangan nikel dengan 1,8 miliar ton terbanyak berada di Sulawesi Tengah. (Sumber: Booklet Tambang Nikel 2020 Kementerian ESDM)
Sebagai daerah dengan cadangan nikel terbanyak, tentunya kegiatan pertambangan banyak dilakukan di Sulawesi Tengah. Namun ternyata di daerah ini, juga menjadi daerah yang disebutkan oleh laporan investigatif bahwa beberapa perusahaan tambang nikel di Sulawesi Tengah yang tak memiliki persetujuan pencadangan wilayah.
Salah satunya adalah Anggota Komisi Hukum DPR yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum salah satu partai politik, Ahmad H. Ali atau akrab disapa Mat Ali. Tambang nikel Ahmad Ali diduga memiliki cap palsu dalam dokumen izin untuk perusahaannya yang bernama PT Graha Mining Utama dengan lahan seluas 624,53 hektare.
Seperti yang terjadi pada Karlan, salah satu pengusaha yang namanya juga disebutkan dalam laporan investigatif, Ahmad Ali juga memiliki dokumen persetujuan pencadangan wilayah tambang nikel untuk perusahaan tambang nikel PT Graha Mining Utama yang terbit pada 31 Juli 2008. Kala itu, Dinas Pertambangan dan Energi sudah berubah nama menjadi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, dokumen ini diduga bercap palsu.
Mat Ali pun menyatakan bahwa untuk mengetahui dokumen perusahaan tambang nikel miliknya palsu atau tidak, harus melakukan verifikasi kepada pemerintah Kabupaten Morowali. Masalahnya, Pemkab Morowali tidak dapat melakukan kroscek, karena buku perizinan tambang milik Mat Ali termasuk salah satu barang bukti yang disita kala dirinya tersandung masalah korupsi perizinan tambang nikel di Sulawesi pada 2012 lalu.